Tak ada jawaban. Penonton yang mengisi separuh kapasitas Gedung Kesenian Jakarta, 16-17 September 2001, hanya terpaku. Mereka menyimak pertanyaan-pertanyaan yang secara tersirat muncul dari rangkaian gambar slide di layar serta dari suara sebuah piano.
Di layar tersebut yang dipasang di bagian belakang panggung muncul citra sosok-sosok kerangka manusia berseragam militer. Itulah kekuatan diktator penindas yang tinggal kenangan. Namun gambar berikutnya memperlihatkan sosok-sosok tentara lengkap dengan senjata, melambangkan kekuatan junta militer. Komposisinya berupa rancangan yang tampak masif. Di dalam barisan tampak topi-topi baja. Dari tepi-tepi gambar mencuatlah moncong-moncong senjata dalam berbagai ukuran.
Lalu muncul tulisan seputar kebangkitan rakyat untuk melawan penindasan. Di layar tampak sosok-sosok manusia, tentu tanpa senjata, yang bergandengan tangan ketika mengayun langkah. Terjadilah bentrok. Korban berjatuhan.
Ajakan untuk mengenang tragedi
***
DALAM nomor sajian yang tak kalah menarik, The Fox Story: Illusion by Cherry Blossoms and Chrysanthemums, Yuji Takahashi menawarkan model tuturan serupa. Ia menggunakan musik, kali ini terkesan lebih "visual" oleh ragam warna bunyinya, serta gambar-gambar slide yang terkadang terkesan ilustratif dibanding gambar
Musiknya tersusun dari motif melodi pendek pada piano yang sedikit ia kembangkan maupun ia gali kemungkinan kualitas bunyinya. Ia juga memanfaatkan perkusi, dan pada beberapa bagian memberi ruang pada rekannya Yukihiko Nishizawa memainkan alat tiupnya.
Gerak patah-patah oleh sifat perkusif piano yang sering ditonjolkan, alunan musik tiup yang mendadak terasa masif penuh tenaga, dan sesekali selaan oleh bunyi perkusi dalam frekuensi tinggi, memberi landasan aneh bagi permainan gambar-gambar di layar. Sosok serigala, tanaman dan bunga yang segar, dan kilasan bentuk-bentuk lainnya dalam warna yang segar, membangun berbagai suasana yang sulit dipegang ujung pangkalnya kecuali kesan mapan, tenteram, tapi juga terancam.
Keterangan sekilas tentang karya ini di dalam selebaran pengantar pertunjukan menyatakan bahwa inilah kisah yang menyangkut sejarah Jepang abad ke-20, di mana kolonialisme, perang, dan kesejahteraan ekonomi, dibangun di dalam ilusi.
***
PERTUNJUKAN yang mengisi Art Summit Indonesia III ini terdiri dari dua bagian. Kedua karya yang telah disebut di muka merupakan bagian kedua. Pada bagian pertama, Yuji Takahashi memperkenalkan dua alat musik tradisional Jepang, keduanya berjenis kecapi, yaitu sangen dan koto. Ia juga menyuguhkan lagu-lagu tentang anak-anak di dalam masyarakat Jepang masa kini, di bawah judul utama A Song in Search of Sorrow.
Selain menyimak suara dari kedua alat sejenis kecapi tersebut, penonton yang mengisi sekitar dua per tiga tempat duduk gedung pertunjukan juga terpapar oleh pembacaan teks puisi. Dibutuhkan kecermatan untuk menikmati puisi itu di dalam teks terjemahan, sementara sebuah lagu berjudul A Sutra of Deity dinyanyikan.
Anak-anak tersebut, menurut teks yang dilampirkan pada selebaran pertunjukan, "tangisannya hampir diacuhkan dalam masyarakat Jepang." Beberapa teks terjemahan puisi yang dibawakan menandaskan keadaan seperti itu.
Yuji Takahashi kelahiran